UN: Dilema yang tak berkesudahan

ujianBulan-bulan ini merupakan waktu yang cukup menegangkan terutama bagi siswa kelas 3 SMP/MTs maupun SMA/MA. Pasalnya, nasib mereka akan segera ditentukan dalam Ujian Nasional. Perasaan tegang juga menghinggapi guru maupun orang tua siswa yang sedang ujian. Bagaimana tidak tegang, proses belajar mereka selama tiga tahun akan ditentukan dalam 3-5 hari saja. Jika mereka gagal menempuh yang lima hari ini, maka seolah usaha mereka selama tiga tahun lenyap entah terbang kemana.

Sebagaimana yang kita baca, dengar atau kita lihat di banyak media, di negeri ini paling tidak ada tiga pandangan berbeda tentang UN ini. Sebagaian kelompok menganggap UN memang harus ada untuk alasan standarisasi nasional. Sebagian yang lain menganggap UN tidak manusiawi, karena nasib siswa hanya ditentukan oleh 3-5  mata pelajaran dalam waktu 3-5 hari. Sedangkan kelompok ketiga adalah mereka yang tidak melibatkan diri dalam diskursus UN ini.

Sebagai orang yang langsung menerjuni duni pendidikan, saya akan mencoba melihat UN secara obyektif-proporsional. Sebenarnya fenomena UN bukanlah fenomena yang sama sekali baru. Sejak sistem pendidikan di negeri ini dibangun, sudah ada mekanisme evaluasi belajar tahap akhir yang dilakukan secara nasioanl. Bahkan di masa lalu hal ini juga diberlakukan di dunia perguruan tinggi dengan adanya Ujian Negara. Di zaman saya sekolah dulu ada istilah EBTANAS, bahkan saat itu mata pelajaran yang diujikan lebih banyak. Untuk tingkat SD saja ada lima, yakni Bahasa Indonesia, PMP, MTK, IPA dan IPS. Ketika di SMP ditambah lagi dengan Bahasa Inggris, sedangkan di tingkat SMA IPA dipecah menjadi Fisika, Kimia dan Biologi. Nilai yang diperoleh dari ujian ini disebut sebagai NEM dan merupakan angka-angka yang sangat menentukan bagi kelanjutan studi siswa yang bersangkutan.

Pasca reformasi, EBTANAS diubah menjadi UNAS, UN pernah juga menggunakan istilah UAN. Bedanya, mata pelajaran yang diujikan secara nasional dibuat lebih sedikit dan ada pengetatan dalam menentukan standar kelulusan. Sampai pada titik ini, seolah UAN tidak menyimpan masalah karena ia hanya meneruskan tradisi di masa lalu (EBTANAS).

Benarkah demikian? Benarkah UN memang harus ada? Benarkah kebijakan UN telah berada pada trak yang benar dalam menyiapkan anak didik untuk menghadapi masa depan? Benarkah UN sudah dilaksanakan dengan mempertimbangkan filosofi dasar pendidikan?

Menurut UU Sisdiknas 2003: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Coba kita baca berulang-ulang paragraf di atas, lalu jawablah dengan sejujurnya, sudah benarkah kebijakan UN ini? Bisakah UN menjadi alat standarisasi untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional? Benarkah UN yang ada sekarang dapat menciptakan kultur belajar yang memungkinkan bagi tumbuhnya iman, kecakapan, kreativitas dll? Atau justru kebijakan UN membawa dampak yang negatif dan cenderung bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional?

Alih-alih menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, UN telah membawa guru dan siswa pada situasi belajar yang tidak menyenangkan, situasi belajar yang membodohkan, diwarnai dengan drill and practice soal-soal ujian, terjebak pada tryout, tanpa harus memaknai suatu bangunan ilmu,  bahkan tidak jarang justru memunculkan ragam krasi kecurangan.

Siswa pada akhirnya tidak peduli apakah dia telah mengilmui suatu pemahaman konsep atau belum, yang penting bagi mereka adalah mampu mengerjakan soal dengan benar, tanpa mempedulikan makna sebuah konsep.Akhirnya pendidikan nasional berperan sebagai pabrik pencetak robot yang siap dioperasikan untuk melaksanakan program-program tertentu, namun otaknya tidak lagi berfungsi untuk mencerna setiap realitas kekinian apalagi “kemasadepanan”. Otak para peserta didik telah dipasung oleh sebuah hantu bernama “Ujian Nasional”. Benarkah dengan sistem semacam ini, dunia pendidikan kita dapat menghantarkan anak-anak muda bangsa menuju masa depannya? Sebuah era yang jauh lebih kompleks daripada yang kita alami sekarang.

Namun persoalannya, jika tidak ada UN, bagaimana cara negeri ini mengevaluasi proses pendidikannya? Jika tidak dengan UN, bagaimana negeri ini menjamin bahwa proses pendidikan telah berjalan dengan kualitas yang baik? Jika tidak ada UN, bagaimana kita dapat memantau kemajuan/keberhasilan pendidikan? Pertanyaan ini dan beberapa pertanyaan lain yang mirip dengan itu telah menyebabkan UN berada pada posisi yang cukup dilematis. Jika diselenggarakan menuai kontroversi, jika tidak diselenggarakan pemerintah bingung untuk mengevaluasi kemajuan pendidikan. Namun bukan berarti persoalan ini tidak ada solusinya. Nah, untuk membahas solusinya, tunggu tulisan kami berikutnya.

About SabarNurohman

Saya sabar nurohman, staf pengajar di jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY. Aktivitas lain di luar kampus adalah sebagai trainer, tergabung d

Posted on April 28, 2009, in Artikel, Uneg-uneg. Bookmark the permalink. 1 Comment.

  1. Assalamu’alaikum
    Wah baru tahu Pak Sabar punya blog, tambah satu deh dari UNY yang suka menulis.

    Jadi ingat pas di kelas 3 IPA SMA dulu, dari awal sampai akhir tiap hari senam jantung. Tiap guru masuk langsung saja main tunjuk “Kerjakan di depan kelas, Kamu no 1, kamu no 2, kamu no 3…”. Jadinya soal-soal di buku tebal Fisika, Biologi, Matematika, Kimia sampai habis dibahas,lha tiap hari ada PR. Hasil ulangannya ada yang 0,…1, 2 dan anak yang paling pintar paling tinggi nilainya 6, soalnya standarya emang bener2 ditinggikan sama Gurunya. Ternyata itu strategi guru shg pas UAN kita g kaget…dan alhamdulillah semua anak di sekolahku LULUS di atas standar UAN. Saat UAN kerasa “kok soalnya gampang banget?” Wah kok jadi curhat! 😀

    Mungkin peningkatan standar UAN ditujukan spt diatas, peningkatan kualitas. Hanya saja banyak dari sekolah2 kita banyak yang belum siap dan terkendala untuk mengejarnya. Kendalanya biaya dan kesadaran. Maybe. Itu hanya analisis sederhanaku.

Leave a reply to hanif Cancel reply